![]() |
Sumber: pinterest |
Misal kayak karakterku yang sensitif. Jika sebelumnya aku
telah mendefinisikan bahwa dengan karakter sensitif tersebut aku jadi mudah
tersinggung, aku punya gambaran ideal yaitu bodo amat dengan perkataan orang
lain.
Agar efektif, kita perlu melakukan ini dengan menggunakan
Opportunities (kesempatan) dan Threats (ancaman) dari konsep SWOT. Misal
kesempatanku dalam bodo amat dengan perkataan orang adalah dengan menyeleksi
siapa saja yang komentarnya boleh aku pertimbangkan?
Karenakan gak bisa juga semua perkataan orang kita tolak; kalau gitu kita gak akan bertumbuh. Jadi solusinya adalah mendengarkan mereka
yang benar-benar kenal aku dan akupun kenal mereka, lalu mengabaikan komentar
orang-orang yang hanya datang selewat.
‘Ancaman’nya adalah proses yang gak akan mudah. Karena aku
tahu bahwa aku sensitif, maka proses penyeleksian komentar yang boleh aku
pertimbangkan dan tidak akan memakan waktu yang mungkin cukup lama.
Nah jarak antara realita dan ekspektasi yang aku punya
itulah yang menggambarkan sebesar apa self esteem yang aku miliki. Jadi apakah faktor self esteem rendah
itu karena ekspektasi kita terhadap diri sendiri terlalu tinggi? Bisa iya dan
bisa tidak.
Iya karena bisa jadi saat kita jabarkan antara Opportunities
(kesempatan) dan Threats (ancaman), lebih besar Threats-nya, sehingga terlalu sulit
untuk digapai. Dan bisa juga tidak, karena bisa jadi yang salah bukanlah
ekspektasi kita yang terlalu tinggi, melainkan realita yang kita gambarkan terlalu
rendah.
Entah itu karena gak percaya diri atau hanya karena gak
yakin, kita jadi mendefinisikan diri kita sendiri lebih rendah dari kemampuan
yang benar-benar kita miliki. Sehingga kita merasa diri kita rendah sekali saat ekspektasi sederhana saja terasa begitu jauh dengan realita yang ada.
Padahal kita hanya butuh lebih jujur saja dalam memandang diri.
Tapi apa berarti kita gak boleh punya ekspektasi yang
terlalu tinggi ke diri sendiri? Jawabannya iya. Karena nanti akan berpengaruh
langsung ke self esteem.
Gak salah untuk memiliki tujuan yang tinggi, tapi jangan
samakan antara tujuan dengan ekspektasi yang kita tetapkan terhadap diri
sendiri. Karena ekspektasi yang terlalu tinggi, akan menjauhkan jarak antara ideal
self dengan self image kita, sehingga nantinya yang kita rasakan
adalah putus asa.
Sedangkan jika kita memiliki ekspektasi yang dapat tergapai,
lalu jarak antara ideal self dengan self image kita mendekat
sedikittt saja, self esteem kita akan ikut meningkat, dan motivasi kita
untuk mencapainya akan terus menerus meningkat seiring berjalannya waktu.
Kalau masih bingung, contohnya gini: Mawar memiliki berat
badan 64 kg, ideal yang dia inginkan adalah 50 kg. Opportunities-nya adalah
dengan diet dan olahraga, Threats-nya adalah dia gak bisa nahan makan dan gak
biasa olahraga.
Karena prosesnya yang terlalu sulit, makin hari Mawar malah
merasa targetnya makin gak tergapai. Sehingga bukannya antara ideal self
dengan self image mendekat, tapi malah menjauh. Sehingga self esteem-nya
juga ikut menurun.
Akan berbeda jika Mawar mengganti target idealnya menjadi “lari
setiap hari dan mengurangi makan cemilan”, karena Threats yang ada pada dirinya
adalah gak bisa nahan makan dan gak biasa olahraga, target tersebut akan
menjawab keduanya.
Sehingga saat di tengah prosesnya berat badan Mawar mulai
turun sedikit demi sedikit, self esteem-nya akan ikut bertambah. Karena
apa? Karena jarak self image dan ideal self-nya Mawar mulai
mendekat. Dengan begitu ia juga akan semakin percaya diri dalam menggapai
tujuan tersebut.
Jadi begitu juga dengan target-target yang kalian miliki.
Jika semakin hari kok kayaknya kalian semakin gak percaya diri, mungkin yang
salah bukan ada pada kemampuan kalian, melainkan bentuk ekspektasi yang kalian
tetapkan kepada diri sendiri.
Semoga penjelasan konsep ini sudah cukup sederhana untuk
bisa kalian pahami. Jika belum, akan coba kubahas dengan konsep yang lebih
sederhana di tulisan selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar