Awal tertarik baca buku ini karena judulnya. Toh kebanyakan bisnis sekarang memang dikuasai oleh orang-orang Cina, bukan? Jadi siapa tahu, ada setidaknya satu—dua pelajaran yang bisa diambil.
Bukan cuma diambil, tapi ternyata juga menarik untuk
dibagikan, atau ya setidaknya akan aku ceritakan. Beberapa hal yang kalau kata
penulis, para pedagang Cina miliki tapi tidak dengan para pedagang Melayu.
Sebelumnya sebagai disclaimer aku gak bener-bener tahu
gimana di lapangannya. Aku bakal bahas berdasarkan apa yang aku baca dari buku
ini aja. Jadi kalaupun ada perbedaan, ya mohon dimaafkan:)
Pembahasannya aku bagi menjadi 2 bagian; secara pribadi dan
masyarakat.
Sesuai pengamatan penulis, kebanyakan orang Melayu tidak berbisnis secara jangka panjang. Kebanyakan mereka berjualan hanya angin-anginan saja. Misal saat momen ramadhan atau saat ada tren tertentu, orang akan berbondong-bondong jualan. Tapi saat momennya sudah selesai, mereka juga berhenti berjualan .
Atau misal saat hasil penjualan menurun. Bukannya mencari
cara agar bisnisnya bertahan, kebanyakan mereka malah menutup bisnisnya. Padahal
kata si penulis, salah satu kunci dari kesuksesan berdagang adalah ketahanan
dalam melewati turun naiknya keadaan pasar.
Orang Cina beranggapan, bahwa kerugian adalah bagian dari
perjalanan menuju sukses aja. Dan berjualan hanya saat momen tertentu, bukanlah
hal ‘terhormat’. Karena menurut mereka, seorang pebisnis justru yang seharusnya
menciptakan tren, bukannya malah yang terseret.
Selain itu penulis juga mention tentang pengelolaan uang. Dia
melihat kebanyakan orang Melayu mencampur
adukan antara uang bisnisnya dengan uang pribadi. Merasa bahwa hasil jualan
berarti adalah uangnya yang bisa dipakai sesuka hati.
Padahal untuk bisnis bisa bertahan jangka panjang, membutuhkan
modal berkala untuk mengembangkan bisnis tersebut, yang mana seharusnya diambil
dari keuntungan bisnis. Jadi uangnya ya memang untuk diuangkan kembali. Bukan seluruhnya
langsung masuk ke kantong pribadi.
Itu dari sisi pribadi, sekarang dari sisi masyarakat. Kenapa
kebanyakan orang Cina memilih berdagang? Salah satunya adalah karena status
sosial.
Jika pandangan kebanyakan masyarakat Indonesia yang keren itu
jika jadi PNS, bagi mereka adalah menjadi pedagang. Meskipun hanya pedagang
kecil, sekedar jualan di depan rumah misalnya; bagi mereka itu lebih terhormat
dari harus bekerja kepada orang lain.
Makanya banyak dari mereka yang memilih untuk berdagang. Kalaupun
bekerja, biasanya hanya sekedar untuk mencari pengalaman dan/atau modal. Sebelum
nantinya juga mulai berdagang.
Selain standar tersebut, mereka juga memiliki budaya
mendukung satu sama lain (sesama orang Cina). Berbeda dengan pedagang Melayu
yang biasa berjualan sesuatu yang sama berdekatan; misal ada tukang bakso,
sebelahnya atau bahkan sejejerannya juga ada tukang bakso lain, pedangang Cina
tidak begitu.
Mereka akan melihat apa yang belum ada? Apa yang belum
dijual di kawasan tersebut? Lalu melengkapi kekurangannya. Bagi mereka cara ini
lebih terhormat, karena dapat menciptakan win-win solution. Mendukung saudaranya,
sekaligus tidak perlu bersaing karena target pasarnya memang berbeda.
Makanya wajar pedagang Cina sering disebut menguasai pasar. Karena memang pola pikir mereka berbisnis untuk melengkapi satu sama lain, bukan malah bersaing. Dan saingannya? Adalah kita-kita para pedagang Melayu yang sibuk bersaing satu sama lain (kalimat terakhir ini kesimpulanku aja btw:)).
Yah, udah sih gitu aja. Sebuah sudut pandang baru yang aku
dapatkan dari buku ini. Poin-poin yang aku rasa bisa jadi bekal untuk aku
ataupun kalian ke depannya. Mungkin gak hanya untuk berjualan, tapi bisa diterapkan
untuk hal lainnya juga.
Sekian, semoga ada manfaat yang bisa diambil~
Komentar
Posting Komentar