Belajar dari Buku 07: Memisahkan Diri dengan situasi

Sumber: pinterest.com

“Kita bukan apa yang kita rasa, kita bukan apa yang kita alami” Sebuah kalimat sederhana yang mungkin terdengar mudah, tapi pada kenyataannya begitu sulit untuk dipraktekan.

Saat sedih seringkali kita merasa bahwa dunia kita runtuh, semua pekerjaan jadi terlantar dengan alasan keadaan. Atau mungkin saat kehilangan sesuatu kita merasa jadi orang paling kecewa sedunia yang perlu dimengerti, sehingga menunggu pengertian dari orang lain.

Masalahnya apa yang kita terlantarkan adalah tanggung jawab, sedangkan perhatian yang kita tunggu dari orang lain adalah sesuatu yang ada di luar kendali. Sehingga tidak bisa kita paksakan.

Aku paling banyak belajar tentang konsep ini lewat buku Why Has Nobody Told Me This Before? Yang mengajarkan bagaimana seharusnya kita menjaga jarak dengan emosi yang sedang kita rasakan.

Buku tersebut mengatakan bahwa emosi bagaikan cuaca yang datangnya silih berganti. Tinggal apakah kita akan membiarkan emosi tersebut lewat atau menahannya jadi bagian dari diri sendiri?

Iya mungkin kita marah, tapi bukan berarti kita pemarah. Iya mungkin kita takut, tapi bukan berarti kita penakut. Iya mungkin kita sedang stress, tapi bukan berarti kita orang yang gagal. Begitu seterusnya dengan emosi-emosi yang lain.

Aku sendiri tipe yang mudah panik dan stress jika sesuatu di luar kendali. Tapi seiring banyaknya jalan, aku mulai memahami bahwa itu hanya akan menghambat, yang akhirnya sedikit demi sedikit mulai belajar merealisasikan konsep ini pada setiap kejadian yang melibatkan emosi.

Sekalian aku sampaikan teknik yang diajarkan oleh buku tersebut, sekalian juga aku cerita pengalamanku:

Waktu itu jam 10 malam. Dengan situasi aku sedang solo trip, mengejar bus pulang jam 11.30 malam. Karena pas nanya ke orang jarak dari sana ke terminal katanya 30 menit, maka aku merasa aman jika berangkat dari jam 10.

Cukup lama aku nunggu bus dalam kota untuk menuju terminal, bus tersebut tak kunjung datang. Sampai akhirnya 10 menit sebelum jam keberangkatan, bus tersebut baru datang.

Marah? Iya. Kesal? Iya. Sedih? Iya. (1) Menerima bahwa setiap emosi tersebut memang ada adalah langkah awal dari mengolah emosi itu sendiri. Coba (2) tenangkan diri dan pahami, bahwa emosi tersebut hanyalah sesuatu yang lewat saja.

Langkah selanjutnya (3) jelaskan, kenapa sekiranya rasa tersebut hadir?

Aku marah karena gak paham kenapa busnya gak sesuai jadwal. Aku kesal karena sudah mengusahakan berangkat secepatnya tapi busnya baru datang saat itu, yang bikin aku ketinggalan bus pulang. Aku sedih karena berarti ratusan TL harus hangus karena kejadian ini.  

Dilanjut dengan pertanyaan, (4) lalu apa yang ingin aku tuju setelahnya? Karena jawabannya pulang, berarti aku perlu cari dan beli tiket bus lagi.

Mungkin emosinya masih ada, mungkin proses penerimaannya belum selesai, tapi dengan menerapkan konsep ini kita akan tetap bisa maju dengan tenang, sambil juga membawa emosi-emosi yang kita rasakan, tidak malah kita biarkan.

Kita tidak tolak emosi tersebut dengan mengatakan, “Gak, aku gak marah ataupun sedih… toh ini takdir”. Tapi menerima bahwa emosi tersebut memang ada, lalu menjalaninya dengan Ikhlas sebagai bentuk penerimaan atas takdir yang menimpa kita.

Jadi untuk kalian yang tipenya mudah panik dan stress sepertiku, mungkin bisa mulai menerapkan konsep ini; dijamin hidup kalian akan bisa lebih enjoyyy~

Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!

 

Komentar