Memungut Hikmah 12: Memposisikan Dalil pada Tempatnya


Source: pinterest.com

“Dan ketahuilah bahwa Kami tidak pernah mengutus seorang rasul pun kepada umat manusia, melainkan dengan bahasa yang dipergunakan oleh kaumnya. Yang demikian itu bertujuan agar dia dapat memberi penjelasan tentang syariat Allah dengan baik kepada mereka” (Qs.Ibrahim:4)

Sepanjang yang aku pahami dari kata “bahasa” di ayat ini adalah bahasa yang biasa kita gunakan sehari-hari. Tapi bagaimana, jika ternyata maknanya tidak sesempit itu?

Mukjizat Nabi Muhammad adalah ayat quran, tepat disaat tren di kalangan kaumnya saat itu adalah syair. Mukjizat Nabi Musa adalah sihir, tepat disaat tren di kalangan kaumnya saat itu adalah sihir.

Jadi secara tidak langsung, ‘bahasa’ juga bisa dimaknai dengan cara penyampaian yang sesuai dengan bagaimana suatu kaum terbiasa dengannya.

Lalu bagaimana dengan scientist yang biasa menyampaikan segala sesuatu berdasarkan data, namun seringkali kaum muslimin debat berdasarkan dengan dalil?

Aku dapat konsep ini dari kelas Bang Risco kemarin yang menyampaikan bahwa tidak seharusnya kita mencampur adukkan antara data ilmiah dengan ayat Al-quran.

Kenapa? Karena dengannya kita hanya akan merendahkan derajat ayat quran itu sendiri.

Jika kita sedang berbicara dengan para pakar maka berbicara lah menggunakan data, sebab itu ‘bahasa’ mereka. Menyanggahnya dengan ayat hanya akan menjadikan kita tidak bijak, sebab ayat baru akan terasa kebenarannya jika kita dalam keadaann beriman.

Bukankah paradoks jika kita memaksakan ayat pada orang yang belum beriman; hanya orang yang sudah beriman yang dapat mengakui kebenaran ayatNya, tapi kita memaksakan orang mengakui kebenaran ayatNya saat dia masih dalam keadaan belum mengimaniNya.

Maka jika kita mendebatkan sesuatu yang berdasarkan sumber ilmiah, debat kembali berdasarkan hasil ilmiah sebagai sumber dalil. Sebab pengetahuan ilmiah sifatnya tidak pasti, alias masih bisa salah dan diperbaiki pada penemuan berikutnya.

Sedangkan menjadikan Al-quran sebagai sumber dalil saat mendebatkan hasil ilmiah, hanya akan menurunkan derajat Al-quran itu sendiri yang notabenya pasti benar; tidak mungkin salah.

Contoh nyatanya adalah perdebatan bumi bulat atau datar yang sudah sering dibahas:

Jika seseorang mendebatkan hasil observasi sience yang mengatakan bumi bulat dengan dalil adanya kalimat “dihamparkan” pada Al-quran, akan sama saja seperti mendebatkan sesuatu yang ditemukan berdasarkan ilmu dengan sesuatu yang hanya hasil kira-kira; tidak satu bahasa.

Tapi okelah untuk perkara ini, sebab tidak akan merusak aqidah. Tapi bagaimana dengan awal penciptaan manusia, misalnya?

Ilmu evolusi yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera tidak bisa kita terima begitu saja karena di dalam Al-quran sudah jelas diterangkan bahwa kita berasal dari manusia pertama yang diturunkan dari surga.

Tapi menjadikannya dalil dalam berdebat dengan ilmuan tidaklah mugkin. Sebab ini sudah masuk ke dalam ranah mukjizat, yang artinya sudah di luar ilmu manusia, termasuk science.

Menyatukan keduanya dalam satu perdebatan hanya akan menjadikan perdebatan tersebut paradoks dan tidak akan pernah menemukan titik tengah.

Maka yang perlu kita lakukan adalah membuktikan kebenaran Al-quran itu sendiri, sampai di titik keyakinan bahwa apapun yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran; yang turun langsung dari tuhan semesta alam.

Jadi perdebatan tidak lagi menjadi paradoks. Kita memposisikan masing-masing dalil pada tempatnya. Dalil ilmiah untuk perdebatan ilmiah, sedangkan dalil Al-quran untuk menyampaikan kebenaran dariNya; jangan sampai kita campur adukkan.

Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!

 

Komentar