Source: pinterest.com
Tak bisa dipungkiri bahwa masing-masing dari kita pasti memiliki privilege.
Entah itu berupa harta, koneksi, kesempatan, bakat, atau apapun itu. Tapi
apakah kalian pernah bertanya, apa sekiranya privilege yang aku punya?
Sepanjang tumbuh besar, aku lebih banyak menyaksikan seseorang yang
menjadikan privilege orang lain sebagai sebuah celaan dibanding pujian.
Misalnya gini,
“Iya dia mah enak, bapaknya direktur jadi gampang dapet pekerjaan”
“Iya dia mah enak, orang tuanya berduit jadi bisa sekolah di luar negeri”
“Iya dia mah enak punya bakat, jadi gampang berprestasi kayak gitu”
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, apakah dengan memiliki privilege yang sama
kita akan bisa menggunakannya sebaik mereka?
Jleb.
Seperti ada gengsi tersendiri untuk mengakui bahwa privilege adalah bagian
dari ‘sumber daya’ yang memang bisa digunakan. Kalian familiar dengan istilah
“berdiri di kaki sendiri”?
Ada banyak kasus di mana seseorang tidak mengakui privilegenya karena salah
memaknai istilah ini.
Misalnya saja, seorang anak dari orang tua berkecukupan yang tetap menolak uang
orang tuanya meskipun saat itu dia sedang sangat membutuhkan dengan alasan
ingin mandiri,
atau seseorang yang menolak tawaran pekerjaan dari kerabatnya karena merasa
bukan hasil usahanya sendiri,
atau seseorang yang menolak ikut kelas tertentu karena merasa nanti bakatnya
bukan hasil otodidak seperti kebanyakan orang lainnya.
Di satu sisi kekhawatiran seperti ini memang dapat dipahami, tapi jika “berdiri
di kaki sendiri” terus menurus dipahami seperti ini, bukankah akan sama artinya
dengan menolak segala kesempatan yang sudah tuhan berikan?
Aku jadi ingat salah satu nasihat dari Ustad Felix yang kurang lebih intinya
begini, “Kalau kamu punya privilege, ya gunakan. Jangan merasa apa-apa semua
harus ideal sesuai keinginan sendiri.”
Konteksnya waktu itu ada seseorang yang menceritakan mimpinya ingin
berkontribusi untuk dakwah saat nanti sudah punya penghasilan. Posisinya saat itu
dia adalah seorang anak dari orang tua yang cukup berharta, pun dia punya akses
terhadap harta tersebut.
Lalu ustad menasihati,
“Ya mulai saja dari harta orang tuamu… Karena yang terpenting adalah
memaksimalkan apa yang kita punya sekarang. Kalau sekarang punyanya harta dari
orang tua, ya pakai semaksimal mungkin. Soal nanti kalau sudah punya
penghasilan sendiri mau berkontribusi, seharusnya bisa lebih baik karena sudah
terbiasa dari sekarang.”
Dari situ aku jadi belajar untuk lebih terbuka. Iya benar ya, seringkali
hanya karena merasa semuanya harus berasal dari diri sendiri, kita jadi menutup
kesempatan lain yang ada di sekitar kita.
Padahal kalau kesempatan itu memang ada, meskipun bukan berasal dari kita, kenapa tidak? Itukan yang dinamakan privilege.
Maka saat melihat seseorang yang sukses kalimatku tak lagi “Dia mah enak”,
melainkan “Wah hebatnya dia bisa mengakui lalu menggunakan privilegenya
dengan baik”.
Jadi bagaimana, privilege apa yang kalian punya?
Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
Komentar
Posting Komentar