Waktu itu pernah ada yang nanya ke aku, “Bisa konsisten nulis idenya dari
mana? Diri sendiri aja kah?”
Sejujurnya pertama kali mulai nulis blog aku agak khawatir karena
mengandalkan cerita pribadi sebagai sumber tulisan, yang mana artinya akan
sangat terbatas. Tapi setelah dijalanin ternyata enggak juga, selalu ada aja
cerita yang bisa aku ceritakan kembali.
Walaupun begitu, dengan mengambil kisah hidupku sendiri sebagai sumber
tulisan berarti aku juga sedang menasihati orang lain. Sebab tak bisa
dipungkiri, nasihatku kepada diri sendiri tentu akan ikut terbaca oleh orang
banyak.
Kalian tahu apa yang paling sulit dari menasihati? Melewati ujian yang
datang setelahnya, sesuai dengan nasihat yang kita sampaikan.
“Berarti kalo gitu gak perlu nasihatin dong, daripada nanti malah kita yang
kena ujiannya?”
Aku pernah berpikir begitu, bahkan sampai sekarang aku masih suka memilih
diam meski tahu nasihat apa yang tepat untuk masalah tertentu kepada orang
lain. Sebab aku sendiri merasa belum siap untuk menjalankannya.
Apakah pilihan ini tepat? Oh tentu tidak. Karena Allah meminta kita untuk
saling menasihati,
وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ “saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” (Al-‘Asr:3)
Aku paham bahwa ayat ini memerintahkan kita untuk saling memberi dan
menerima nasihat, tapi baru kali ini aku memahami bahwa secara tidak langsung
ayat ini juga sedang meminta kita untuk mengambil tanggung jawab.
Memastikan bahwa apa yang aku sampaikan di tulisan juga sudah terpraktikan
oleh diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Ini yang seringkali jadi
pertimbanganku dalam memilih tema tulisan, siap tidak ya aku sampaikan topik
ini? Sudah cukup aku praktikan dengan baik belum ya konsep ini? dan banyak
pertanyaan sejenis lainnya.
Tapi apakah dengan kekhawatiran tersebut kita jadi berhenti menasihati?
Tentu tidak juga. Karena memilih untuk tidak menasihati saat punya kesempatan
sama saja seperti kabur dari tanggung jawab.
Aku pernah baca bahwa kedewasaan seseorang terukur dari banyaknya tanggung
jawab yang mereka emban. Makanya mereka yang punya beban hidup (baca: tanggung
jawab) lebih besar biasanya lebih cepat dewasa dibanding mereka yang hidup
dalam kenyamanan.
Namun tanggung jawab bukanlah sekedar apa yang ada di luar kendali kita
saja, seperti beban hidup misalnya. Tapi juga apa yang kita pilih, seperti
nasihat yang sekarang sedang kita bahas.
Mengambil tanggung jawab sama halnya dengan mendewasakan diri. Sebab ada ‘beban’ yang harus kita tanggung di sana.
Tidak mudah memang, tapi apa yang akan
membedakan kita dengan kebanyakan orang jika mengemban tanggung jawab adalah
sesuatu yang mudah, bukan?
Jadi bagaimana, tanggung jawab apa yang sedang kalian pilih untuk emban?
Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
Komentar
Posting Komentar