Belajar dari Buku 03: Menderita itu Pasti, Bahagia itu Pilihan

Source: pinterest.com

“Pain is what teaches us what to pay attention to” —28

Masih dari buku “The Subtle Art of Not Giving a F*uck”, salah satu kalimat di buku ini bilang kalau rasa sakit adalah sebuah peringatan.

Seperti tangan yang sakit jika terkena air panas, kita akan belajar bahwa air panas bukanlah sesuatu yang bisa dipegang oleh tangan kosong. Begitu juga dengan emosi serta rasa sakit yang kita rasakan secara mental, ada untuk mengajarkan kita mana hal yang sebaiknya kita ambil atau hindari.

Saat bayi yang sedang belajar berjalan terjatuh misalnya, semua orang akan paham bahwa jatuhnya tidak menandakan bahwa dia gagal dalam berjalan, melainkan hanya bagian dari proses saja, yang memang harus dijalani.

Maka selayaknya bayi yang harus merasakan sakitnya terjatuh saat belajar berjalan, kita juga perlu merasakan “jatuh” saat belajar untuk “hidup”. Toh ini hidup pertama bagi kita semua, bukan?

Mendambakan hidup “tanpa rasa sakit” sebenarnya sama saja seperti anak kecil yang mendambakan bisa berjalan tanpa harus merasakan sakitnya terjatuh; mustahil. Walau begitu, masih ada satu yang bisa kita lakukan, yaitu memilih rasa sakit serta perjuangan seperti apa yang ingin kita hadapi.

Bayangkan jika seandainya ada penjahat yang mengancam akan membunuh keluargamu. Tapi kamu punya kesempatan untuk menyelamatkan mereka dengan berlari sejauh 42 km. Apakah kamu akan berlari sejauh itu?

Secara logika siapapun yang cinta dengan keluarganya pasti akan rela berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan lari 42 km tersebut meski dengan terpaksa.

Sekarang bandingkan jika kamu punya keinginan untuk melihat tatapan bangga keluargamu dalam sebuah perlombaan lari 42 km. Untuk itu setiap hari kamu memilih bangun pagiii-pagi sekali untuk latihan lari, dengan tujuan agar bisa sampai ke garis finish nantinya.

Konteksnya sama gak? Sama. Sama-sama harus berlari sejauh 42 km, dan sama-sama melibatkan hubungan emosional dengan keluarga sebagai dorongan. Tapi yang satu harus dilakukan secara terpaksa, sedangkan yang satunya dilakukan secara sukarela.

Mending yang mana? Tentu yang kedua.

Dari sini aku jadi belajar, ternyata ada pertanyaan yang jauh lebih penting dari “Apa tujuan yang ingin aku capai?” Yaitu, “Perjuangan serta rasa sakit apa yang ingin aku hadapi?”

Banyak orang yang ingin produktif, tapi sedikit dari mereka yang memilih baca buku dibandingkan scroll sosmed saat sedang waktu luang. Banyak orang yang ingin sukses, tapi sedikit dari mereka yang memilih menghargai proses dibanding sibuk mencari cara instan.

Tak sedikit dari kita yang menginginkan ‘hal hebat’ terjadi dalam hidup kita, tapi sering lupa kalau ada resiko yang juga harus ditanggung untuk bisa mendapatkan ‘hal hebat’ tersebut. Kita lupa sehingga kita tidak menyiapkan diri kita atas rasa sakit serta jatuh bangun di tengah-tengahnya.

Padahal dengan memahami bahwa setiap jatuh dan bangun yang kita hadapi adalah pilihan kita untuk mencapai tujuan tertentu, kita tidak akan lagi merasa bahwa rasa sakit tersebut adalah sebuah masalah.

Kita akan paham bahwa rasa sakit tersebut hanyalah bagian dari proses, sebuah peringatan agar ke depannya kita tidak melakukan kesalahan yang sama.

Jadi, bentuk rasa sakit serta perjuangan seperti apa yang ingin kalian ambil dan hadapi?

Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!

Komentar