“Pain is what teaches us what to pay attention to” —28
Masih dari buku “The Subtle Art of Not Giving a F*uck”, salah satu kalimat
di buku ini bilang kalau rasa sakit adalah sebuah peringatan.
Seperti tangan yang sakit jika terkena air panas, kita akan belajar bahwa
air panas bukanlah sesuatu yang bisa dipegang oleh tangan kosong. Begitu juga
dengan emosi serta rasa sakit yang kita rasakan secara mental, ada untuk
mengajarkan kita mana hal yang sebaiknya kita ambil atau hindari.
Saat bayi yang sedang belajar berjalan terjatuh misalnya, semua orang akan
paham bahwa jatuhnya tidak menandakan bahwa dia gagal dalam berjalan, melainkan
hanya bagian dari proses saja, yang memang harus dijalani.
Maka selayaknya bayi yang harus merasakan sakitnya terjatuh saat belajar
berjalan, kita juga perlu merasakan “jatuh” saat belajar untuk “hidup”. Toh ini
hidup pertama bagi kita semua, bukan?
Mendambakan hidup “tanpa rasa sakit” sebenarnya sama saja seperti anak kecil
yang mendambakan bisa berjalan tanpa harus merasakan sakitnya terjatuh;
mustahil. Walau begitu, masih ada satu yang bisa kita lakukan, yaitu memilih
rasa sakit serta perjuangan seperti apa yang ingin kita hadapi.
Bayangkan jika seandainya ada penjahat yang mengancam akan membunuh
keluargamu. Tapi kamu punya kesempatan untuk menyelamatkan mereka dengan
berlari sejauh 42 km. Apakah kamu akan berlari sejauh itu?
Secara logika siapapun yang cinta dengan keluarganya pasti akan rela
berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan lari 42 km tersebut meski dengan
terpaksa.
Sekarang bandingkan jika kamu punya keinginan untuk melihat tatapan bangga
keluargamu dalam sebuah perlombaan lari 42 km. Untuk itu setiap hari kamu memilih
bangun pagiii-pagi sekali untuk latihan lari, dengan tujuan agar bisa sampai ke
garis finish nantinya.
Konteksnya sama gak? Sama. Sama-sama harus berlari sejauh 42 km, dan
sama-sama melibatkan hubungan emosional dengan keluarga sebagai dorongan. Tapi
yang satu harus dilakukan secara terpaksa, sedangkan yang satunya dilakukan
secara sukarela.
Mending yang mana? Tentu yang kedua.
Dari sini aku jadi belajar, ternyata ada pertanyaan yang jauh lebih penting
dari “Apa tujuan yang ingin aku capai?” Yaitu, “Perjuangan serta rasa sakit apa
yang ingin aku hadapi?”
Banyak orang yang ingin produktif, tapi sedikit dari mereka yang memilih
baca buku dibandingkan scroll sosmed saat sedang waktu luang. Banyak
orang yang ingin sukses, tapi sedikit dari mereka yang memilih menghargai
proses dibanding sibuk mencari cara instan.
Tak sedikit dari kita yang menginginkan ‘hal hebat’ terjadi dalam hidup kita,
tapi sering lupa kalau ada resiko yang juga harus ditanggung untuk bisa
mendapatkan ‘hal hebat’ tersebut. Kita lupa sehingga kita tidak menyiapkan diri
kita atas rasa sakit serta jatuh bangun di tengah-tengahnya.
Padahal dengan memahami bahwa setiap jatuh dan bangun yang kita hadapi
adalah pilihan kita untuk mencapai tujuan tertentu, kita tidak akan lagi merasa
bahwa rasa sakit tersebut adalah sebuah masalah.
Kita akan paham bahwa rasa sakit tersebut hanyalah bagian dari proses,
sebuah peringatan agar ke depannya kita tidak melakukan kesalahan yang sama.
Jadi, bentuk rasa sakit serta perjuangan seperti apa yang ingin kalian ambil
dan hadapi?
Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
Komentar
Posting Komentar