“Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” adalah konsep demokrasi yang
menurutku cukup ideal untuk dijalankan sebagai hukum negara. Tentu kalau
dijalankan sesuai dengan konsepnya. Tapi kan kita manusia, yang mana pasti
punya ambisi masing-masing, apa iya bisa menjalankan sesuatu secara ideal? Apa
gak akan goyah ke ambisi pribadi?
Konsep yang awalnya dari rakyat untuk rakyat, sekarang lebih terlihat
seperti dari pengusaha untuk pengusaha. Ini bukan kataku saja, bisa dilihat dari apa yang terjadi di lapangan. Tapi kenapa kok bisa begitu? Apa alasannya? Ya tentu karena uang!
Berkampanye itu butuh uang, yang punya uang itu pengusaha. Kalau
pengusaha sudah memberikan uangnya, pasti mereka mau sesuatu sebagai imbalan dong? Di
titik ini lah mau gak mau perwakilan rakyat yang sudah duduk di kursi
pemerintahan harus ‘menuruti’ apa kata pengusaha; tentu yang berhubungan dengan
usaha mereka. Kalau gak, nanti uangnya dari mana?
Konsep awal ‘oleh rakyat’ yang diterapkan dengan terbentuknya perwakilan
rakyat tidak lagi bisa mewakili rakyat secara kebanyakan. Karena mereka yang
bekerja tidak sesuai kemauan pengusaha? Ya mohon maaf kalian sudah gak punya backingan
lagi.
Setidaknya kurang lebih begitu cara kerja demokrasi yang terjadi sekarang,
sangat jauh dari kata ideal. Tapi wajar sih, toh kan yang mereka butuhkan dan
cari itu memang uang. Jadi pertimbangan-pertimbangan mereka dalam mengambil
keputusan juga didasarkan pada untung rugi yang mereka alami, bukan rakyat.
Di sini lah hukum negara islam hadir sebagai solusi. Mungkin memang tidak
akan 100% ideal juga, karena toh yang menjalankannya tetap manusia, tempatnya
lupa dan salah. Tapi ada satu poin yang gak bisa diganggu gugat saat hukum islam yang dipakai, yaitu ambisi.
Satu-satunya ambisi pribadi yang bisa dimiliki oleh pemimpin negara yang memimpin dengan hukum islam adalah meraih RidhoNya. Dengan begitu, pastilah penilaian Allah yang akan menjadi pertimbangan utamanya, yang tentu saja akan mengutamakan kesejahteraan rakyat dibandingkan dengan perut sendiri. Ditambah lagi pemahaman bahwa akan ada pengadilan untuknya di akhirat kelak yang akan mengadili keputusan-keputusan yang diambilnya sekarang.
Jika begini, sebenarnya mempertimbangkan hukum apa yang akan dipakai oleh
calon pemimpin menjadi lebih penting dari memilih ‘siapa’nya itu sendiri.
Jadi inti yang ingin aku sampaikan dari tulisan ini adalah kalau khilafah masih terdengar cukup menyeramkan untuk kalian,
maka aku persembahkan konsep hukum negara yang paling sesuai dengan fitrah kita
sebagai manusia. Tak perlu disebut khilafah, cukup dengan hukum yang sesuai
dengan fitrah.
Sebab Dia-lah pencipta kita, yang paling paham tentang diri kita, bahkan
jauh lebih paham dari diri kita sendiri. Maka jika standar adil negara berjalan
sesuai dengan standar adil Allah Sang Pencipta, bukankah akan lebih baik? Bayangkan akan seberapa damai
negara tersebut, baru dibayangkan saja sudah terasa indah, bukan?
Sekian dulu untuk hari ini. Kalau ada kebaikan yang kalian dapat, aku akan sangat senang jika kalian juga membagikannya ke sekitar kalian. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!
Komentar
Posting Komentar